Minggu, 07 Juni 2009

GADIS KECILKU

OLEH : Ardi Tahu

Malam tetap lah malam.

Meski seribu syair terindah

kau gubah tuk mengusirnya

perlahanpergi.

Kamu tetap yang terindah,

walau seribu satu malam

tak pernah kau lewatkan bersama ku.

Kau gadis kecil ku…

seyum termanis yang pernah ku lihat.

Mata terindah yang pernah kutatap.

Pesona mu membuat ku gila,

pengen berdansa dengan selusin mimpi

tentang kita menatap horizon

pada senja yang sama.

Serasa nyata kau beri aku sebuah nama.

Dan ku panggil kau

dengan suara gaib yang jarang kau dengar.

Kau gadis kecilku temani

pagi ku merangkak dan malam ku meringkuk.

Di balik jeruji masih terucap

kau paham tentang aku di dalam sana.

Kau hidangkan aku secangkir kopi….

tanpa berani kumenatap

apa yang tersembunyi di balik dua mata mu.

Ku katakan pada kursi kosong teman kita…

kopi buatan mu ajaib…buat ku terjaga…

pada petang aku merapal nama mu

dengan sejuta kiasan.

Dan semuanya indah

andai pernah kau tenggelam

dan larut dalam lamun ku tak berujung….

kapan berhenti kau bius aku dalam bias pesona mu.

Satu garis tak bisa ku tepis.

WAKTU!!

HAPPY VALENTINE DAY

OLEH : Ardi Tahu

bukan salah ku melukis mu

sebelum jejak embun pagi

karene semua tentang mu

ada jauh sebelum kau kulihat

melukis mu seharusnya bukan pilihan

karena kamu

tak pernah benar-benar telah menjadi

alasan

kian sulit memilih

kau kini menjadi alasan

bahkan satu-satunya alasan

aku berhenti melukis

tapi semakin kutatap kau dan lukisan itu

semakin ku tahu

kalian benar-benar sama

sama dalam diam tanpa tanda

bergeming dalam senyum yang dingin

mengantar ku pergi

melepas mu tinggal berteman senja

kau dan lukisan itu

terimakasih cinta

tak memaksaku

tentukan pilihan

“HAPPY VALENTINE DAY”

pastikan cinta mendapat tempat yang layak di hati mu saat ini….!!!

JEJAK TERAKHIR DI PENGHUJUNG SENJA

OLEH : Ardi Tahu

Petang
beranjak malam. Ditingkah mentari senja yang kian tenggelam,

kumelangkah menelusuri lorong waktu. Lembut tatapan temaram senja terasa

bagai sembilu menancap raga. Kini usai sudah pergulatan panjang yang

melelahkan. Membentur dimensi waktu dan ruang, antara aku, kau, dan dia. Aku

merasa kalah sekaligus menang. Kalah lantaran gagal berdiri tegar mengukir

impian menyatu dengan dewi pujaan hingga ajal menjemput. Menang karena di

sisa waktu yang hampir habis kekonyolan itu memberikan tempat pemenuhan

sebuah keputusan. Mesti meninggalkan dia menuju panggilannya sendiri. Tak perlu

disesalkan, sebab ketulusannya bakal terluka bila dipaksakan menyata.


Mimpi kita, awalnya dijejali bayang-bayang indah merengkuh ujung langit tak

terbatas. Hingga terlupa sejenak bila mimpi tinggal mimpi. Hasrat selalu kandas

pada tepian-tepian, yang tak lain adalah tumpukan kesalahan-kesalahan

sederhana. Yang paling bertanggungjawab atas meluapnya tumpukan itu adalah

aku sendiri. Melupakan satu hati nun jauh di sana yang tulus menunggu. Rela

terseok di atas tajamnya karang lorong dia melangkah. Kata maaf akan terasa

menjijikkan saat semua ini telah terjadi. Toh tetap akan terucap karena tak ada lagi

bahasa luar biasa yang paling istimewah untuk menarasikan perasaan jiwa. Aku

mencintaimu karena cinta. Kali ini, pada senja aku mengakui dengan jujur, saat

aku rontok cinta tetap berdiri kokoh.


Ijinkan kisah berpisah di simpang jalan. Sendiri kita merenda jalinan cerita yang

lebih indah. Tak ada kata putus asah untuk kesempatan kedua. Lakon duka tak

akan pernah hilang dari indah niannya mimpi. Energi mungkin telah begitu terkuras

di rimba petualangan mencari sosok yang sempurna. Tapi kita tetaplah pecinta,

yang punya sisa tenaga menentukan pilihan, mungkin bukan terbaik, namun bijak.

Aroma wangi tubuhmu tak akan pernah hilang dari kisaran waktuku. Karena cinta

tak pernah memilih. Yang berpihak hanyalah realita. Realita memang kejam, tapi

mesti dijalani,karena kita senantiasa berlari liar di atasnya.Tak perlu terlarut dalam

nelangsa berkepanjangan. Masih ada syair rindu walau pada bait terakhir, yang

patut dinyanyikan dengan senyum sumringah.


Tetap berkelana dari senja ke senja. Mengisi ruang kosong yang masih suci tak

terjamah. Selalu ada hati yang bakal terketuk untukmu. Hati putih yang juga suci

merengkuhmu. Jauh dari hitamnya taburan janji kosong. Tak lekang cintanya

dilindas perpendaran roda waktu. Aku sebilah pisau yang telah melukai dalam

jiwamu tak berujung. Datang bersungkur di hadapanmu, memohon cinta tak

mengikat. Cabut pisau itu, yang telah merah oleh darahmu. Terima ungkapan

maafku, dan biarkan senja kembali indah. Serasa mentari tak akan pernah

terbenam.


Cinta tak pernah memilih. Cinta hanyalah konsep kosong yang akan selalu netral.

Yang bersalah adalah pecinta. Selalu liar terperangkap permainan suasana.

Bersahabatlah dengan cinta. Tuntunannya membawamu pada idealisme hati yang

hakiki. Seerat cinta direngkuh, hingga diri berubah sosok menjadi cinta itu sendiri,

tangisan duka tak akan hadir. Aku mencintaimu karena aku mencintaimu, bukan

karenamu. Biarkan aku mengatakan hal yang sama setelah berpisah di

persimpangan ini. Hanya karena tabrakan realita, dan kau terlalu suci untukku.

Biarkan aku menapakkan jejak terakhir pada senja kini dengan sebaris kata,

engkau terlalu indah untuk kusentuh.

RUANG TUNGGU

Oleh : Ardi Tahu

" Didedikasikan kepada Para Kekasih yang tak jenuh Menunggu "


Jubelan
manusia tumpah ruah di ruangan itu. Tampak berdiri enggan, duduk pun tak mau. Selalu
melonggokkan
mata pada penanda waktu yang nangkring di dinding. Ada yang tersenyum cerah, mungkin
sebentar lagi orang
yang ditunggu tiba. Lainnya kelihatan murung , sepertinya bakal berpisah.
Di pojok sana berdiri sepasang anak
muda. Sepasang kekasih tepatnya. Mereka termasuk barisan murung yang
enggan jarum jam berputar cepat saat itu. Yang cewek menatap sayu wajah pria di depannya. Segurat senyum jingga menghiasi bibir tipisnya. Sementara si cowok tampak menggumamkan sesuatu. Pasti sederet kata penguat. Dawai perpisahan sedang dimainkan oleh sang musisi bernama waktu. Pada jedah ini alur rasa menggapai klimaks. Pola verbal serasa kehilangan sentuhan ajaib. Tinggal bahasa raga yang mampu mengeja setiap tumpukan rasa tak tertampung kata terucap. “ Enu, andai kau yang kutuju, aku tak perlu berlari, karena tanpa kukejar pun, kuyakin kau tetap di sini menungguku ”, bisik Erang dengan bibir bergetar. “ Iyah, saya akan bertahan sampai kau pulang”, balas Wella !!! Dialog cinta tengah bergulir. Entah sebentuk permohonan untuk tegar menjalani kisah yang terpisah ruang dan waktu, atau metamorfosis dari pertanyaan atas serpihan keraguan hati tak bertepi.

Temu dan pisah
adalah dua
titik kecil yang darinya bisa ditarik garis-garis mini membingkai sebuah kisah. Demikian halnya kisah cinta Erang dan Wella, yang bermula pada tiga tahun silam. Erang, mahasiswa Ilmu Politik UGM Jogjakarta, sementara Wella, mahasiswi keperawatan UNDANA Kupang. Berawal ketika Erang diperkenalkan oleh teman Wella, yang juga temannya lewat telepon. Lembut tutur Wella yang mempesona, ibarat panggilan pulang bagi Erang untuk kembali menapaki sebuah masa yang pernah membuat dia retak dan enggan berhubungan dengan semua sosok yang namanya cewek. “ Aku jatuh cinta lagi. Kali ini pada suaramu ” !!! Serangkai kata, awal kebekuan mencair terucap dari mulut Erang. “Iyah, aku juga “ !!!Wella terkontaminasi sindrom perasaan mutual yang sama. Hanya kodrat memaksa
dia terbenam dalam diam, tidak menjadi orang pertama yang ungkapkan rasa. Keduanya sepakat menamakan ini sebuah kebetulan yang indah. Kebetulan, karena terjadi begitu saja, tanpa prediksi matematis jauh sebelumnya. Indah sebab bermataairkan ledakan-ledakan rasa yang tak tertahan dan bermuara pada kesepakatan tak terucap untuk menjaganya hingga rasa itu pergi. Dan semua pun mengalir begitu saja, sejalan ritme yang tak sengaja dikonsep, larut dalam kompleksitas manis dan getir bertahan. Hingga sekarang mereka masih bertahan, tenggelam dalam mekanisme cinta yang tak butuh tali. Ini menjadi perpisahan kedua, sekaligus menandai saat pertama Wella mengakhiri status sebagai mahasiswi, karena telah diwisuda sebulan kemarin. Long distance tetap berlanjut, cuma dengan setingan tempat yang berbeda, Wella di Labuan Bajo, Erang di Jogja.

Lonceng perpisahan
pun bertalu. Kapal Tilong Kabila yang akan membawa Erang dari Labuan Bajo menuju
Jogjakarta merapat di dermaga. ” Enu, jaga hati e !!! Jaga diri juga. Jangan lelah menunggu. Jika kau rindu, datanglah ke sini di saban kapal merapat. Daraskan kembali kata-katamu tadi, bahwa kau akan bertahan sampai aku benar-benar pulang. Percayalah, aku mengunjungi hati mu saat itu ”. Wella hanya bisa mengangguk kecil, tak kuasa menjawab. Erang mendaratkan kecupan hangat di kening kekasihnya, kemudian beranjak menaiki tangga kapal, diiringi lambaian tangan sang kekasih. Hingga kapal perlahan beringsut menjauh dan tak kelihatan lagi ujungnya, barulah Wella menurunkan tangan, dan beranjak dari ruangan itu. Sebelum pergi, dia sempat berbisik lirih dalam hati, “ Nana, saya sudah terbiasa dengan ini, dan kau harus tahu, sedetik pun di catatan waktuku, tak pernah berpikir tuk melepasmu dari kisah kita. Cuma nana yang saya cemaskan. Hanya bisa bilang satu hal, rapatkan mantel dan kencangkan sepatu boat biar tidak ada cahaya lain yang masuk ” !!!

Waktu
terus bergulir menguji konsistensi para pelakon kisah menggenggam janji , di batas fajar, di
ambang senja. Kini Wella tenggelam dalam rutinitas baru sebagai tenaga honorer di sebuah klinik kesehatan Labuan Bajo. Pun amanat perpisahan yang dipesankan sang kekasih tetap setia dijalani. Wella masih mendatangi ruang itu di saban kapal merapat. Memang menjalani sesuatu yang tak biasa, dengan penuh keyakinan sekali pun tetap akan konyol. Tapi Wella tak pernah memilih untuk yakin atau tidak. Wella hanya menuruti panggilan rasa. Dan cinta butuh kerangka biar tidak berlari liar tanpa batas, tanpa tujuan. Wella telah menjadikan Erang sebagai satu-satunya tujuan hidup dalam bingkai cinta. Lakon yang kemarin pun terulang, lalu terulang lagi, meski konyol dan bodoh. Sampai pada suatu hari, muncul sepenggal pesan singkat dari sang kekasih di Jogja. ” Enu, maafkan saya. Saya sudah salah jalan. Telah mengingkari kisah kita. Saat ini, saya tengah menjalani dua dunia. Jika bertanya pada rasa, di mana sebenarnya pelabuhan yang kutuju, rasa akan enggan menjawab. Sebab sebelum melakoni dua dunia ini, saya tak pernah berdiskusi dengannya, atau sekedar mohon diri. Sengaja kukirim sms saat ini, karena aku tahu sebentar lagi kapal akan merapat. Katakan pada sosok asing yang akan kau jumpai dalam monologmu nanti, ini kali terakhir kau menunggunya ” !!! Ibarat petir di siang bolong, itu menjadi tamparan paling keras dalam hidup Wella. Lelaki yang dipercaya menjadi penjaga hati datang dengan kejujuran yang menjijikkan melebihi sebuah kebohongan paling busuk. Pria terindah sampai dia merelakan dirinya mengenal banyak hal terkonyol, kini bermutasi menjadi monster menjijikan. “ Tapi bukankah cinta tak butuh tali ? Dan kisah tak akan pernah berakhir, sebelum rasa itu sendiri datang mencabutnya. Lalu di mana rasa saat Erang….berkhianat ??? Dan, ruang tunggu itu”??? Ruang tunggu adalah tempat persinggahan jejak yang pergi dan datang. Mampir sejenak di sana berarti siap berfluktuasi dengan dengan imajinasi menjadi orang lain. Yang siap berangkat pasti ingin bertukar sosok dengan yang baru turun dari kapal. Tapi akankah yang datang, juga menginginkan itu ??? Yang tersisa hanyalah kumpulan penjemput dan pengantar dengan imajinasi liar berpendar dari satu titik ke titik lain.

Ruang tunggu
dengan pembatas berupa pajangan kaca tembus pandang adalah penjara nyata untuk setiap
keinginan berontak. Sebuah titik jungkir untuk berlayar dan terus berlayar, hingga tak pernah kembali. Atau titik
labuh setiap keinginan untuk tak lagi pergi. Bisunya tiang penyangga, dan beningnya kaca pembatas tak pernah mengajak para pesinggah untuk berdiskusi tentang arti datang dan pergi. Atau sekedar bernegosiasi betapa retaknya sebuah hati yang ditinggal. Tut…….tut………tut…..tut….tut……, sayup-sayup dari kejauhan terdengar bel kapal berbunyi. Wella sadar dari keterpekurannya. Pedih yang melukai hati serasa pulih seketika. Dia bangkit, dan berangkat ke pelabuhan. Masuk ke ruang itu, dan berdiri di tempat kemarin dia berdiri. Dia diam sejenak, lalu ; “ Nana, ini kali terakhir aku tak perlu menunggumu lagi di ruang ini. Dan kau tak harus pulang sebelum bertemu dengan rasamu itu. Kutunggu kau dan rasamu kembali di ruang hatiku. Di sana kupastikan kalian masih sempat berdebat sebelum kau akhirnya pergi lagi. Ketahuilah aku tak cukup punya kekuatan tuk menahanmu. Cinta kita tidak butuh tali ” !!! Tit…tit….tit…, sms terkirim.

Catatan :

Enu : panggilan buat cewek dalam kosa kata bahasa Manggarai

Nana : panggilan untuk cowok .

Erang : diadopsi dari kosa kata bahasa Manggarai yang berarti
hebat, jago, luar biasa, Istimewah / Wella : diadopsi dari
kata wela yang berarti bunga.

Labuan Bajo ; nama kota di ujung barat Pulau Flores, NTT.
Kota yang termasuk salah satu ikon pariwisata lokal dan
nasional. Kota tempat transitnya para wisatawan yang hendak
berkunjung ke Pulau Komodo.

Tilong Kabila : Satu-satunya kapal penumpang milik PELNI yang
bersandar di pelabuhan Labuan Bajo dengan rute pelayaran di
jalur Makassar-Labuan Bajo-Bima-Lombok-Bali.