OLEH : Ardi Tahu
Petang beranjak malam. Ditingkah mentari senja yang kian tenggelam,
kumelangkah menelusuri lorong waktu. Lembut tatapan temaram senja terasa
bagai sembilu menancap raga. Kini usai sudah pergulatan panjang yang
melelahkan. Membentur dimensi waktu dan ruang, antara aku, kau, dan dia. Aku
merasa kalah sekaligus menang. Kalah lantaran gagal berdiri tegar mengukir
impian menyatu dengan dewi pujaan hingga ajal menjemput. Menang karena di
sisa waktu yang hampir habis kekonyolan itu memberikan tempat pemenuhan
sebuah keputusan. Mesti meninggalkan dia menuju panggilannya sendiri. Tak perlu
disesalkan, sebab ketulusannya bakal terluka bila dipaksakan menyata.
Mimpi kita, awalnya dijejali bayang-bayang indah merengkuh ujung langit tak
terbatas. Hingga terlupa sejenak bila mimpi tinggal mimpi. Hasrat selalu kandas
pada tepian-tepian, yang tak lain adalah tumpukan kesalahan-kesalahan
sederhana. Yang paling bertanggungjawab atas meluapnya tumpukan itu adalah
aku sendiri. Melupakan satu hati nun jauh di sana yang tulus menunggu. Rela
terseok di atas tajamnya karang lorong dia melangkah. Kata maaf akan terasa
menjijikkan saat semua ini telah terjadi. Toh tetap akan terucap karena tak ada lagi
bahasa luar biasa yang paling istimewah untuk menarasikan perasaan jiwa. Aku
mencintaimu karena cinta. Kali ini, pada senja aku mengakui dengan jujur, saat
aku rontok cinta tetap berdiri kokoh.
Ijinkan kisah berpisah di simpang jalan. Sendiri kita merenda jalinan cerita yang
lebih indah. Tak ada kata putus asah untuk kesempatan kedua. Lakon duka tak
akan pernah hilang dari indah niannya mimpi. Energi mungkin telah begitu terkuras
di rimba petualangan mencari sosok yang sempurna. Tapi kita tetaplah pecinta,
yang punya sisa tenaga menentukan pilihan, mungkin bukan terbaik, namun bijak.
Aroma wangi tubuhmu tak akan pernah hilang dari kisaran waktuku. Karena cinta
tak pernah memilih. Yang berpihak hanyalah realita. Realita memang kejam, tapi
mesti dijalani,karena kita senantiasa berlari liar di atasnya.Tak perlu terlarut dalam
nelangsa berkepanjangan. Masih ada syair rindu walau pada bait terakhir, yang
patut dinyanyikan dengan senyum sumringah.
Tetap berkelana dari senja ke senja. Mengisi ruang kosong yang masih suci tak
terjamah. Selalu ada hati yang bakal terketuk untukmu. Hati putih yang juga suci
merengkuhmu. Jauh dari hitamnya taburan janji kosong. Tak lekang cintanya
dilindas perpendaran roda waktu. Aku sebilah pisau yang telah melukai dalam
jiwamu tak berujung. Datang bersungkur di hadapanmu, memohon cinta tak
mengikat. Cabut pisau itu, yang telah merah oleh darahmu. Terima ungkapan
maafku, dan biarkan senja kembali indah. Serasa mentari tak akan pernah
terbenam.
Cinta tak pernah memilih. Cinta hanyalah konsep kosong yang akan selalu netral.
Yang bersalah adalah pecinta. Selalu liar terperangkap permainan suasana.
Bersahabatlah dengan cinta. Tuntunannya membawamu pada idealisme hati yang
hakiki. Seerat cinta direngkuh, hingga diri berubah sosok menjadi cinta itu sendiri,
tangisan duka tak akan hadir. Aku mencintaimu karena aku mencintaimu, bukan
karenamu. Biarkan aku mengatakan hal yang sama setelah berpisah di
persimpangan ini. Hanya karena tabrakan realita, dan kau terlalu suci untukku.
Biarkan aku menapakkan jejak terakhir pada senja kini dengan sebaris kata,
engkau terlalu indah untuk kusentuh.